Senin, 26 September 2011

Hukum Bisnis Syariah

Saya mengutip, mengapa 'Perlu Hukum Bisnis Syariah'? 
 JAKARTA -- Perkembangan perbankan dan ekonomi syariah memerlukan payung hukum untuk menyelesaikan perselisihan usaha. Lembaga arbitarse syariah nasional saat ini yang bukan dibentuk oleh pemerintah dianggap tak memiliki wewenang yang mengikat. Menurut ketua Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES), Nadzratuzzaman Hosen, sudah saatnya disusun suatu kompilasi hukum acara bisnis syariah. Karena hukum bisnis yang digunakan saat ini berasal dari hukum dagang Belanda. Menurutnya, lembaga arbitrase nasional bidang syariah tak punya hukum acara. ''Lagipula keputusan hukumnya tak bisa dieksekusi dalam tataran normatif karena bukan lembaga yang dibentuk oleh negara,'' kata Hosen. Hukum bisnis syariah, kata Hosen, diperlukan untuk mengatasi perselisihan usaha antarlembaga ekonomi syariah terutama perbankan. ''Bisa saja ada orang yang dirikan bank syariah tapi praktiknya bertentangan dengan syariah. Siapa yang menyelesaikannya?'' Begitu juga ketika non muslim membangun bisnis atau bertransaksi berdasar sistem syariah. ''Kalau ada sengketa, siapa yang berhak melakukan pengadilan?'' kata Hosen. Lembaga arbitrase syariah yang dibentuk oleh MUI memang mempunyai wewenang sebagai lembaga penengah dalam menyelesaikan perselisihan. Namun, menurutnya, itu sebatas musyawarah mufakat. Sehingga pihak-pihak yang bersengketa tak bisa dipaksa untuk mentaati keputusan lembaga arbitrase itu. Karena itu Hosen mengusulkan agar hukum bisnis syariah dapat diatur oleh satu lembaga peradilan misalnya peradilan agama. Lembaga itu diperluas perannya untuk mengurusi hukum perbankan dan bisnis syariah. ''Jangan hanya mengurusi waris dan perceraian,'' kata Hosen. Selain itu, hukum bisnis syariah juga diperlukan untuk mengatur berbagai hal termasuk kepemilikan dan jual beli. Misalnya kepemilikan tanah dan perjanjian jual beli. Karena hukum konvensional juga mengatur kedua hal itu. Namun kendala utama, kata Hosen, adalah sifat hukum fikih yang melandasi praktik bisnis syariah yang bersifat tidak pasti. Ada banyak penafsiran sehingga diperlukan banyak masukan dari berbagai ahli ekonomi syariah baik dari Timur Tengah maupun Barat. Karena itu dia mengusulkan perlunya dibentuk forum hukum bisnis syariah yang terdiri dari berbagai ahli fikih dan bisnis syariah. ''Tujuannya agar hukum fikih dapat dipositifkan di bidang asuransi dan perbankan syariah,'' tandas Hosen. Namun menurut Direktur Utama Bank Muamalat, A Riawan Amin, saat ini keberadaan lembaga arbitrase syariah masih mencukupi. ''Itu 'kan sudah ada badan arbitarse muamalat. Dalam pelaksaaanya bisa menggunakan perangkat yang sudah ada,'' kata Riawan. Dia mencontohkan masalah litigasi yang bisa diselesaikan dengan pengadilan biasa. Lagipula, kata Riawan, perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional tidak terlalu jauh. ''Yang berbeda hanya yang bersifat fundamental,'' kata Riawan. Dia mengumpamakan perbedaan antara nikah dan hidup bersama yang secara praktek adalah suatu hal yang sama. Perbedaan terletak pada akad dan niat yang benar. ''Kalau sudah begitu akan diikuti perilaku yang benar,'' tambahnya. (sumber republika online, juni 2005) Subyek hukum Subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah barang tentu bertitik tolak dari system hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi).

Adapun penjelasan nya : 1. Ekonomi syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip syariah. 2. Subyek hukum adalah orang perseorangan, persekutuan, ataubadan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum yang memiliki kecakapan hukum untuk mendukung hak dan kewajiban. Syarat sahnya perjanjian secara syariah adalah sebagai berikut: 1. tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya, syarat ini mengandung pengertian setiap orang pada prinsipnya bebas membuat perjanjian tetapi kebebasan itu ada batasannya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam baik yang terdapat dalam Alquran maupun Hadist. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka akan mempunyai konsekuensi yuridis perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kausa halal. 2. harus sama ridha dan ada pilihan, syarat ini mengandung pengertian perjanjian harus didasari pada kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, tidak boleh mengandung unsur paksaan, kekhilafan maupun penipuan. Apabila syarat ini tidak terpenuhi dan belum dilakukan tindakan pembatalan maka perjanjian yang dibuat tetap dianggap sah. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kesepakatan (konsensualisme). 3. harus jelas dan gamblang, sebuah perjanjian harus jelas apa yang menjadi obyeknya, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum sebagai konsekuensi yuridisnya. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan adanya obyek tertentu.

 Hukum Perjanjian Syari’ah Di Indonesia 
Aspek hukum perjanjian meliputi aneka perjanjian seperti jual beli, pinjam-meminjam, utang-piutang, mudharabah, penitipan, iflas (pailit), perdamaian. Transaksi jual beli dimana ditegaskan antara lain dilarang melakukan trasnsaksi yang menagandung riba. Kemudian ditegaskan mengenai ketentaun-ketentuan rukun dan syarat jual beli. Benda objek jual beli hendaklah pula memenuhi syarat-syarat berupa dapat ditrasnsaksikan dan tidak terlarang menurut syari’ah sehingga tidak sah jual beli tuak, arak, anjing, babi dan benda-benda haram lainnya. Selain itu objek tersebut juga harus benda bernilai (berguna) yang dalam istilah fikih disebut mutaqawiim. Lebih lanjut objek jual beli harus merupkan milik penjual atau berada dalam kekuasaannya baik karena ia wali atau karena mendapat kuasa atas benda tersebut. Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka tidak sah jual belinya. Disamping itu, harus ada ijab dan qabul seperti pernyataan penjual, “ku jual benda ini” dan perkataan pembeli “ku beli benda ini”. Para pihak mempunyai hak khiyar (pilih), baik khiyar majlis maupun khiyar syarat. Artinya salah satu ppihak boleh memilih untuk meneruskan atau membatalkan akad jual belinya secara sepihak sesudah terjadinya ijab dan qabul selama majlis akad belum bubar.(khiyar majlis) atau apabil ada klausul pembatalan jual beli maka maksimal batanya adalah tiga hari. (khiyar syarat).

#Sumber dari beberapa narasumber .....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar