Definisi Salam yang diberikan oleh para fuqaha berbeda-beda. Fuqaha
Hanafiyah mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya
ditunda atau menjual suatu barang yang yang ciri-cirinya jelas dengan
pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari”.
Fuqaha Hanabilah dan Syafi’iyah mendefinisikannya dengan “Akad yang telah
disepakati untuk membuat sesuatu dengan ciri-ciri tertentu dengan membayar
harganya terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kepada pembeli
dikemudian hari”.
Sedangkan Fuqaha Malikiyah mendefinisikannya dengan: “Jual-beli yang
modalnya dibayar terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan sesuai dengan
waktu yang telah disepakati”.
v DEFINISI SALAM
Salam
adalah Akad jual beli barang pesanan (muslam fiih) dengan pengiriman di kemudian
hari oleh penjual (muslam ilaihi) dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli (al
muslam) pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu (harga,
kualitas, kuantitas, waktu penyerahan).
Jadi Salam adalah
jual-beli barang dimana pembeli memesan barang dengan spesifikasi yang telah
ditentukan sebelumnya, dengan pembayaran yang dilakukan sebelum barang tersebut
selesai dibuat, baik secara tunai maupun angsuran, dan penyerahan barangnya
dilakukan pada suatu saat yang disepakati di kemudian hari. Dengan demikian
dalam transaksi Salam, pembeli pemesan memiliki piutang barang terhadap
penjual, dan sebaliknya penjual mempunyai utang barang kepada pembeli.
v SYARAT
DAN RUKUN SALAM
Sebelum masuk rukun dan syarat ada baiknya
mengetahui apa dasar hukum dari akad
salam itu.
Dasar Hukum
Dasar hukum Salam adalah firman
Allah: :”Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secar
atunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah
(2) : 282)
Berkenaan dengan ayat ini Ibn Abbas berkata; “Saya
bersaksi bahwa Salaf (Salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah
dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya”. Ia lalu membaca ayat
tersebut di atas.
Dasar hukum lainnya adalah hadis yang berkaitan dengan
tradisi penduduk Madinah yang didapati oleh Rasulullah pada awal hijrah beliau
ke sana, yaitu tradisi akad Salaf (Salam) dalam buah-buahan untuk jangka waktu
satu tahun atau dua tahun. Beliau bersabda;
“Barangsiapa melakukan jual beli Salaf (Salam) pada
kurma, hendaknya ia melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang
jelas pula, untuk jangka waku yang diketahui”. (HR. al-sittah) Pada hadits
lainnya Rasulullah bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan:
jual-beli secara tanggung, muqarradah (nama lain mudharabah), dan mencampur
gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual” (HR. Ibn Majah)
Dari sudut Usul Fiqh, akad Salam ini dipandang
menyalahi kaidah umum dalam jual-beli, yaitu bahwa barang dan harga harus ada
pada saat akad. Sedangkan pada akad Salam barang yang dijual tidak ada. Atas
dasar itu, Salam dipandang menyalahi qiyas. Namun karena ada nash, maka qiyas
ditinggalkan. Di dalam Ushul Fiqih, berpaling dari kaidah umum kepada nas
disebut Istihsan bi al-nash. Demikian menurut pandangan fuqaha Hanafiyah dan
Malikiyah yang menjadikan Istihsan sebagai slah satu metode istinbat hukumnya.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah tidak sependapat dengan
mereka karena pandangan itu berarti menempatkan qiyas di atas nash. Menurutnya,
Salam itu sejlan dengan kaidah umum. Sebab kata dayn (hutang) dalam surah
al-Baqarah (2); 282 mencakup pengertian htang uang (harga) dan hutang barang
(penundaan penyerahan barang yang diperjual belikan). Karena itu kebolehan
Salam sejalan dengan kaidah umum, sehingga tidak menyalahi qiyas.
1. RUKUN SALAM
Menurut fuqaha Hanafiyah, rukun Salam itu hanya ijab
dan qabul. Sedangkan menurut fuqaha lainnya, rukun Salam itu ada empat, yaitu:
1. Pihak-pihak yang berakad, yaitu muslam
(pembeli/pemesan) dan muslam ilayhi (penjual/pemasok)
2. Barang yang dipesan (muslam fihi)
3. Modal atau uang
4. Sighat akad (ijab dan qabul)
2. SYARAT
SALAM
Syarat sahnya akad salam adalah sebagai berikut:
1. Pihak-pihak yang berakad disyaratkan dewasa,
berakal, dan baligh.
2. Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas
jenis, cirri-ciri, dan ukurannya.
3. Modal atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur
serta dibayarkan seluruhnya ketika berlangsungnya akad. Menurut kebanyakan
fuqaha, pembayaran tersebut harus dilakukan di tempat akad supaya tidak menjadi
piutang penjual. Untuk menghindari praktek riba melalui mekanisme Salam,
pembayarannya tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang penjual.
4. Ijab dan qabul harus diungkapkan dengan jelas,
sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari
maksud akad.
v MEKANISME
SALAM
jual beli salam lazim ditetapkan pada pembelian
alat-alat pertanian, barang-barang industri, dan kebutuhan rumah tangga.
Nasabah yang memerlukan biaya untuk memproduk barang-barang industri bisa
mengajukan permohonan pembiayaan ke bank syari’ah dengan skim jual-beli salam.
Bank dalam hal ini berposisi sebagai pemesan (pembeli) barang yang akan
diproduksi oleh nasabah. Untuk itu bank membayar harganya secara kontan. Pada
waktu yang ditentukan, nasabah menyerahkan barang peasanan tersebut kepada
bank. Berikutnya bank bisa menunjuk nasabah tersebut sebagai wakilnya untuk
menjual barang tersebut kepada pihak ketig secara tunai. Bank bisa juga menjual
kembali barang itu kepada nasabah yang memproduksinya itu secara tangguh
(bisaman ajil) dengan mengambil keuntungan tertentu.
Jadi setelah akad Salam tuntas dengan diserahkannya
barang oleh nasabah (penjual) kepada bank (pembeli), masih ada beberapa akad
lain yang mengiringinya. Kalau bank kemudian menunjuk nasabah tersebut sebagai
wakil bank untuk menjual barang itu secara tunai kepada pihak ketiga, maka yang
terjadi adalah akad jual beli murabahah bisama ajil. Dengan beralihnya
kepemilikan barang itu kepada nasabah, sedangkan ia belum membayar sepeserpun
kepada bank, maka timbullah dayn (hutang). Selanjutnya, walaupun tidak wajib,
biasanya diikuti dengan akad rahn, dimana bank menahan barang jaminan, baik
berupa barang yang sudah dibeli kembali oleh nasabah itu tadi atau barang lain. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa bank tidak selalu mudah untuk menjual kembali barang industri
yang dibelinya itu, baik kepada pihak ketiga maupun kepada nasabah. Untuk itu
lalu dilakukanlah akad Salam parallel, yaitu dua akad salam yang dilakukan
secara simultan antara bank dan nasabah di satu pihak dan antara bank dan
pemasok barang (supplier) di pihak lain. Menurut Dewan Pengawas Syari’ah Rajbi
Investemen Corporation, Salam paralel ini diperkenankan dengan syarat
pelaksanaan akad salam yang pertama.
Mekanisme salam parallel Artinya bank melakukan
transaksi salam dengan produsen (Salam pertama) jika bank sudah memiliki
nasabah sebagai calon pembeli (Salam kedua). Bank dalam hal ini tidak perlu
mengoperasikan gudang karena pengiriman barang bisa dilakukan langsung dari
produsen kepada pembeli. Dalam prakteknya, bisa saja taransaksi antara bank
dengan calon pembeli (pemesan) terjadi lebih dahulu (Salam pertama),kemudian
bank mencari produsen untuk memenuhi pesanan tersebut (Salam kedua).
DAFTAR PUSTAKA
http://www.scribd.com/doc/24942686/AKAD-SALAM
http://www.facebook.com/topic.php?uid=255621610421&topic=13518
dan sumber lainnya ^^.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar